Penanganan Perubahan Iklim di Sektor Kehutanan
Seperti yang kita ketahui bersama, iklim dunia sedang mengalami perubahan, hal ini membuat cuaca ekstrim menjadi lebih sering terjadi dan sulit ditebak kapan terjadinya. Cuaca ekstrim seperti hujan berkepanjangan dan kemarau berkepanjangan tentunya akan membuat peningkatan frekuensi terjadinya bencana, seperti banjir, tanah longsor, gagal panen dan kekeringan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mulai berupaya untuk menangani perubahan iklim dan telah membuat peraturan terkait penangan perubahan iklim, seperti Undang Undang RI No. 16 tahun 2016, Undang Undang RI No. 32 tahun 2009, dan masih banyak lagi.
Perubahan iklim disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas lainnya di atmosfer yang menyebabkan efek gas rumah kaca. Peningkatan konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas lainnya itu sendiri disebabkan oleh emisi bahan bakar fosil, perubahan fungsi lahan, limbah dan kegiatan-kegiatan industri [1]. Oleh karena itu, pemerintah terus melakukan berbagai upaya mitigasi dan adaptasi untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Di sektor kehutanan dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan, penghijauan lahan kritis, pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan gambut serta pembangunan hutan kota [3]. Kegiatan-kegiatan tersebut tentunya akan sangat membantu dalam mengurangi konsentrasi karbon dioksida dan gas gas lainnya yang ada di atmosfer bumi serta membantu tanah menjadi lebih baik dalam meresap air.
Ilustrasi perubahan iklim. FOTO/iStockphoto |
Seperti yang dipaparkan pada paragraf sebelumnya, untuk mengatasi perubahan iklim dan bencana yang menyertainya, pemerintah perlu melakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Namun, masih banyak daerah di Indonesia yang belum sepenuhnya melaksanakan hal tersebut misalnya saja salah satu kabupaten di Kalimantan Utara yaitu Kabupaten Nunukan. Kabupaten tersebut mengalami penurunan luas hutan dan lahan yang direhabilitasi secara signifikan dari tahun ke tahunnya, pada tahun 2018 tercatat bahwa luas hutan dan lahan yang direhabilitasi seluas 1.151 ha, lalu di tahun berikutnya menjadi 536 ha dan turun kembali di tahun 2020 dengan luas hutan dan lahan yang direhabilitasi hanya seluas 116 ha [4].
Penurunan yang signifikan pada luas hutan dan lahan yang direhabilitasi tentunya akan sangat berdampak buruk pada keadaan alam. Tidak hanya itu, Nunukan juga mengalami peningkatan jumlah kejadian kebakaran hutan yang pada tahun 2019 hanya ada 6 kejadian kebakaran hutan dan lahan meningkat menjadi 18 kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2020 [4]. Oleh karena itu, diharapkan bagi masyarakat untuk dapat ikut berpartisipasi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara melakukan efisiensi energi, mengurangi frekuensi menggunakan kendaraan bermotor pribadi, mengurangi penggunaan air minum dalam botol kemasan dan sedotan, dan cara-cara lain yang sekiranya hal tersebut baik untuk lingkungan [2].
Sumber :
[1] Knowledge Centre Perubahan Iklim
[2] Institute for Essential Service Reform
Komentar
Posting Komentar